Thursday 27 November 2014

Hak Interpelasi

Saat ini masyarakat Indonesia sedang heboh dengan kenaikan BBM. Ada banyak respon yang muncul atas kenaikan BBM baik itu yang secara tegas mendukung kenaikan BBM tersebut dengan berbagai pertimbangan maupun yang menolak secara tegas kebijakan tentang kenaikan BBM tersebut. Salah satu pihak yang lagi heboh saat ini menolak kebijakan kenaikan BBM adalah sebagian anggota DPR RI. Untuk menunjukkan bahwa mereka serius menolak kenaikan BBM, para anggota DPR tersebut pun menggunakan hak mereka yaitu Hak Interpelasi. Hak Interpelasi ini diatur dalam UU No. 17 tahun 2014 tentang PMR, DPR, dan DPRD yang secara teknis diatur lebih lanjut dalam Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib.

I. Pengertian hak Interpelasi
Hak Interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan Pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

II. Tata Cara Pelaksanaan Hak Interpelasi

1. Hak interpelasi diusulkan oleh paling sedikit 25 (dua puluh lima) orang anggota dan lebih dari 1 (satu) fraksi.

2. Pengusulan hak interpelasi disertai dengan dokumen yang memuat sekurang-kurangnya :
a. materi kebijakan dan/atau pelaksanaan kebijakan Pemerintah yang akan dimintakan keterangan; dan
b. alasan permintaan keterangan.

3. Usul hak interpelasi disampaikan oleh pengusul kepada pimpinan DPR kemudian diumumkan oleh pimpinan DPR dalam rapat paripurna dan dibagikan kepada seluruh anggota.

4. Badan Musyawarah membahas dan menjadwalkan rapat paripurna atas usul interpelasi dan dapat memberikan kesempatan kepada pengusul untuk memberikan penjelasaan atas usul interpealsinya secara ringkas.

5. Selama usul hak interpelasi belum disetujui oleh rapat paripurna pengusul berhak mengadakan perubahan dan menarik usulnya kembali.

6. Perubahan atau penarikan kembali usul hak interpelasi harus ditandatangani oleh semua pengusul dan disampaikan kepada pimpinan DPR secara tertulis dan pimpinan membagikan kepada seluruh anggota

7. Dalam hal jumlah penandatangan usul hak interpelasi yang belum memasuki Pembicaraan TingkatI menjadi kurang dari 25 (dua puluh lima) orang anggota 1 fraksi harus diadakan penambahan penandatangan sehingga jumlahnya mencukupi.

8. Dalam hal terjadi pengunduran diri penandatangan usul hak interpelasi sebelum dan pada saat rapat paripurna yang telah dijadwalkan oleh Badan Musyawarah, yang berakibat terhadap jumlah penandatangan tidak mencukupi, Ketua rapat paripurna mengumumkan pengunduran diri tersebut dan acara rapat paripurna untuk itu dapat ditunda dan/atau dilanjutkan setelah jumlah penandatangan mencukupi.

9. Apabila sebelum dan/atau pada saat rapat paripurna terdapat anggota yang menyatakan ikut sebagai pengusul hak interpelasi dengan membubuhkan tandatangan pada lembar pengusul, Ketua rapat paripurna mengumumkan hal tersebut dan rapat paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tetap dapat dilanjutkan.

10. Apabila sampai 2 (dua) kali masa persidangan jumlah penandatangan yang dimaksud tidak terpenuhi, usul tersebut menjadi gugur.

11. Apabila usul hak interpelasi tersebut disetujui sebagai interpelasi DPR, pimpinan DPR menyampaikannya kepada Presiden dan mengundang Presiden untuk memberikan keterangan.

12. Terhadap keterangan Presiden, diberikan kesempatan kepada pengusul dan anggota yang lain untuk mengemukakan pendapatnya.

13. Atas pendapat pengusul dan/atau anggota yang lain, Presiden memberikan jawabannya.

14. Keterangan dan jawaban Presiden, dapat diwakilkan kepada Menteri/pejabat terkait.

15. Dalam hal DPR menolak keterangan dan jawaban Presiden, DPR dapat menggunakan hak menyatakan pendapat.

16. Dalam hal DPR menerima keterangan dan jawaban Presiden, usul hak interpelasi dinyatakan selesai, dan materi interpelasi tersebut tidak dapat diusulkan kembali.

17. Apabila sampai waktu penutupan masa sidang yang bersangkutan ternyata tidak ada usul pernyataan pendapat yang diajukan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembicaraan mengenai permintaan keterangan kepada Presiden tersebut dinyatakan selesai dalam rapat paripurna.

Friday 31 October 2014

Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia


I. Dasar Hukum

1. Undang-undang Dasar Tahun 1945

2. Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden;

II. Tatacara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI

- Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang telah memenuhi persyaratan sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang No 42 Tahun 2008;

- Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh rakyat melalui Pemilihan umum yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali ;

- Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.

- Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

- Presiden dan Wakil Presiden terpilih dilantik oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat:

- Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguhsungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat;

- Jika Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat tidak dapat mengadakan sidang, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan disaksikan oleh Pimpinan Mahkamah Agung.

III. Hak dan Kewajiban Presiden

1. Mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat;

2. Menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undangundang sebagaimana mestinya;

3. Menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undangundang dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa;

4. Mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara;

5. Mengangkat duta dan konsul dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat;

6. Memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung;

7. Memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat;

8. Membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden;

9. Menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat;

10. Menetapkan hakim agung yang diajukan oleh Komisi Yudisial dan disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat;

11. Meresmikan anggota Badan Pemeriksa Keuangan yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah;

12. Mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat;

 
IV. Pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden

- Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan setelah masa jabatan 5 Tahun berakhir Majelis Permusyawaratan Rakyat;

- Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden;

- Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden;

- Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.

- Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat;

- Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadiladilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi.

- Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat;

- Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut;

- Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.

 

 

Monday 14 July 2014

Unsur-Unsur Terbentuknya Negara


1.       Rakyat

Rakyat dibedakan menjadi 2, penduduk dan bukan penduduk. Penduduk adalah sekumpulan orang yang telah memenuhi syarat administratif dari peraturan negara. Bukan penduduk adalah orang yang tidak memenuhi syarat tersebut

Penduduk juga dibedakan menjadi 2, warga negara dan bukan warga negara. Warga negara adalah orang yang memenuhi syarat negara, sementara bukan warga negara adalah orang yang tidak memenuhi syarat tersebut seperti turis dan lain2

 

2.       Wilayah

Dibagi menjadi tiga bagian, yaitu darat, laut dan udara.

Darat memiliki garis batas/perbatasan dengan wilayah negara lain yang dijaga dengan ketat

Laut termasuk danau, sungai, selat dan teluk juga memiliki teritorial dan di luar itu disebut laut bebas

Udara berada di atas laut dan darat dan perbatasan udara juga memilii daerah teritorial yang diawasi dengan ketat.

 

3.       Pemerintah yang Berdaulat

Pemerintah yang berdaulat yaitu pemerintah yang diberi wewenang oleh rakyat sebagai pemegang kedaulatan berdasarkan undang-undang.

 

4.       Pengakuan dari negara lain.

Pengakuan dari negara lain diperlukan sebagai suatu pernyataan dalam hubungan internasional, baik secara de facto maupun secara de jure.

Tuesday 3 June 2014

Menerima Diri Sendiri


Setelah mengenal diri anda sendiri, mengetahui kelebihan dan kekurangan anda. Hal selanjutnya yang harus anda lakukan adalah menerima diri anda sendiri. Menerima diri sendiri adalah menerima keseluruhan diri anda (kelebihan dan kekurangan) tanpa membandingkan-bandingkannya dengan orang lain.

Saat ini banyak yang sulit menerima dirinya sendiri, banyak yang berubah menjadi priibadi yang bukan dirinya sendiri, kamuflase dimana-mana. Mengapa seseorang sulit menerima dirinya sendiri? Hal itu bisa disebabkan oleh berbagai factor seperti tidak pernah puas dengan apa yang dalam dirinya sendiri (tidak pernah bersyukur), selalu merasa kekurangan, selalu membandingkan dirinya demngan orang lain. Padahal kita diciptakan dengan keunikan masing-masing. Adanya keunikan masing-masing lah yang membuat dunia ini semakin berwarna. Itulah indahnya hidup, saling melengkapi, saling mengisi.  

 

Cara menerima diri sendiri:

1. Bersyukur
Bersyukur menandakan anda menerima apapun yang ada dalam hidup anda seutuhnya. Pandanglah kelebihan anda karena apa yang menjadi kelebihan orang lain belum tentu cocok untuk anda.

2. Pandang diri anda sebagai Orang yang berharga
Katakan pada diri anda sendiri bahwa anda berharga. Fokuskan diri pada sisi positif dan negatif secara berimbang.

3. Katakan hal-hal positif pada diri anda sendiri
Ketika anda terbangun di pagi hari, mulai tanamkan dalam pikiran anda hal-hal yang positif, seperti saya pintar, saya cantik, saya bisa, dan hal-positif lainnya

4. Berikan pujian kepada diri sendiri ketika anda berhasil melakukan sesuatu
Memberikan pujian akan meningkatkan semangat kita sendiri.

5. Bersikap apa adanya
Berhentilah berusaha untuk selalu tampil seperti yang diinginkan orang lain hanya untuk membuat mereka senang. Tetapi jadilah diri anda sendiri dan biarkan mereka menerima Anda demikian adanya. Berpura-pura menjadi orang lain untuk bisa diterima hanya akan melelahkan Anda terus menerus.

6. Jujur pada diri sendiri
Jujur pada diri sendiri tentang apa anda rasakan, anda alami, dan terima lah hal itu tanpa harus berusaha menyembunyikannya

7. Lakukan hal-hal yang anda sukai (me time)
Meluangkan waktu untuk melakukan hal-hal yang anda senangi sambil merefleksikan diri tentang apa yang sebenarnya anda inginkan dan butuhkan akan membuat anda semakin bisa menerima diri anda sendiri.

 

***Apapun kondisi anda saat ini terima lah diri anda dengan sepenuhnya***

Mengenal Diri Sendiri


Sudahkah anda mengenal diri anda sendiri? Ketika anda diminta untuk menjelaskan tentang diri anda sendiri apakah masih terbata-bata? atau malah masih diam membisu sejenak memikirkan jawaban? Tanpa disadari banyak diantara kita yang lebih sibuk mengenal diri orang lain dibandingkan mengenal dirinya sendiri. Mengapa saya mengatakan hal tersebut? Karena banyak diantara kita yang lebih sibuk menilai kelebihan dan kekurangan orang lain, mengoreksi diri orang lain sehingga lupa menilai diri sendiri.

Kita hidup dua puluh empat jam dalam sehari, tujuh hari dalam seminggu, tiga puluh hari dalam sebulan, 365 hari dalam setahun. Sudahkah kita mengenal diri kita sendiri? Mengenal diri sendiri bisa dilakukan melalui dua sisi dari sisi kita sendiri dan dari sisi orang lain. Kita butuh penilaian orang lain agar penilaian akan diri kita sendiri menjadi objektif dan lebih netral dalam hal ini menjadi penyeimbang. Banyak cara untuk mengenal diri sendiri, salah satunya adalah dengan mempertanyakan hal ini kepada diri anda sendiri dan jawab dengan jujur.

1. Apa yang saya sukai?

2. Apa yang membuat saya marah?

3. Apa kelebihanku?

4. Apa kekuranganku?

5. Apa yang saya benci?

6. Apa yang yang ingin saya capai?

7. Dan pertanyaan lain yang membuat kita mengenal diri kita sendiri.

Rentetan jawaban atas pertanyaan yang anda tanyakan kepada diri anda sendiri akan menjelaskan siapa diri anda sendiri. Anda akan mengetahui kelebihan dan kekurangan anda sendiri sebab tidak ada manusia yang sempurna.

Mengenal diri sendiri butuh proses dan waktu. Dalam menjalani kehidupan sehari-hari kita akan diproses untuk lebih mengenal diri kita sendiri dan akan mengetahui orang seperti apakah kita sebenranya.

 

***Selamat mengenal diri anda sendiri***

Friday 16 May 2014

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (“PERPU”)

I. Dasar Hukum

1. Pasal 22 ayat (1) UUD 1945;

2. UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;

3. Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden.

II. Pengertian PERPU

“Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa”

Berdasarkan Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 ada tiga syarat sebagai parameter adanya “kegentingan yang memaksa” bagi Presiden untuk menetapkan PERPU yaitu:

1. Adanya keadaan yaitu kebutuhanmendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;

2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;

3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan;

 

III. Proses Penyusunan PERPU

1. PERPU harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut (persidangan pertama DPR setelah PERPU ditetapkan oleh Presiden);

2. Pengajuan PERPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan RUU tentang penetapan PERPU menjadi Undang-Undang

3. DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap PERPU

4. Dalam hal PERPU mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, PERPU tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang.

5. Dalam hal PERPU tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, PERPU tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku.

6. Dalam hal PERPU harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (5), DPR atau Presiden mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan PERPU.

7. RUU tentang Pencabutan PERPU sebagaimana dimaksud pada ayat (6) mengatur segala akibat hukum dari pencabutan PERPU.

8. RUU tentang Pencabutan PERPU sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan menjadi Undang-Undang tentang Pencabutan PERPU dalam rapat paripurna yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (5).

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

1. Doktrin strict liability

Menurut doktrin strict liability, pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana bersangkutan dengan tidak perlu dibuktikan adanya Mens Rea/kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) para pelaku dan cukup dibuktikan bahwa pelaku telah melakukan perbuatan yang dilarang oleh ketentuan pidana atau tidak melakukan perbuatan yang diwajibkan oleh ketentuan pidana.

 

2. Doktrin  vicarious liability (diatur dalam Pasal 116 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup)

Menurut doktrin vicarious liability, seseorang agen atau pekerja korporasi bertindak dalam lingkup kerjanya dan bermaksud menguntungkan korporasi, melakukan suatu kejahatan, tanggung jawab pidananya dapat dibebankan pada perusahaan. Persoalan mendasar dari doktrin ini adalah apabila korporasi secara normatif telah mengeluarkan kebijakan untuk menghindari kesalahan sehingga perbuatan individu semata-mata dinilai sebagai pertanggungjawaban yang bersifat individual.

 

3. Ijzerdraad-arrest (H.R. 23-2-1954, N.J.1955, NR.378),

Berdasarkan ijzerdraad-arrest (H.R. 23-2-1954, N.J.1955, NR.378), pemilik perusahaan dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap suatu tindak pidana yang dilakukan oleh bawahannya  dengan dua kriteria yaitu:

Apakah kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya termasuk dalam kewenangan yang diberikan oleh pemilik perusahaan;

Apakah pemilik perusahaan menerima atau menyetujui tindakan yang dilakukan oleh bawahannya.

 

Penyadapan

I. Dasar Hukum

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika;

2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi;

4. Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme;

5. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

6. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat;

7. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang;

8. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;

9. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;

10. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara;

11. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial;

12. Peraturan Menteri Informasi dan komunikasi Nomor 11 Tahun 2006 tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi;

14. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Penyadapan Pada Pusat Pemantauan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Dari peraturan yang disebutkan diatas, hanya beberapa yang menyebutkan pengertian penyadapan yaitu penjelasan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, Pasal 19 angka 19 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan penjelasan Pasal 40 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi. Penyadapan adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan penyelidikan atau penyidikan dengan cara menyadap pembicaraan, pesan, informasi, dan/atau jaringan komunikasi yang dilakukan melalui telepon dan/atau alat komunikasi elektronik lainnya.

Banyaknya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyadapan dalam instansi penegak hukum yang berbeda mengakibatkan prosedur penyadapan dilakukan berdasarkan peraturan yang berlaku pada instansi yang terkait.akan tetapi pada dasarnya setiap penyadapan dilakukan berdasarkan bukti permulaan yang cukup.

 
II. Kedudukan Hasil Penyadapan dalam Pembuktian

Berdasarkan penjelasan pasal 31 UU ITE disebutkan bahwa “intersepsi atau penyadapan” adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi.

Mengacu pada pengertian diatas makan hasil penyadapan yang diperoleh oleh penegak hukum dalam bentuk informasi elektronik atau dokumen elektronik dapat digunakan sebagai alat bukti. Hal ini diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berbunyi:

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai.

Pasal 29 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang berbunyi:

Alat bukti selain sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dapat pula berupa:

1. Informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan

2. data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tidak terbatas pada:

3. tulisan, suara, atau gambar;

4. peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; atau

5. huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.

 

III. Penyadapan yang tidak sah

Berdasarkan penjelasan pasal 40 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, disebutkan bahwa penyadapan untuk tujuan mendapatkan informasi dengan cara tidak sah harus dilarang karena pada dasarnya informasi yang dimiliki oleh seseorang adalah hak pribadi yang harus dilindungi.

Hal ini juga diatur dalam pasal 47 UU ITE yang menyatakan bahwa “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah)”.

IV. Kesimpulan

1. Penyadapan dapat dilakukan oleh penegak hukum yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang;

2 Hasil penyadapan dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses peradilan pidana;

3. Bahwa penyadapan yang dilakukan oleh pihak yang tidak berwenang dan dengan prosedur yang tidak diatur dalam Undang-undang dilarang oleh Undang-undang.

 

 

 

Kealpaan/Kelalaian

Ilmu hukum pidana dan yurisprudensi menafsirkan kealpaan (culpa) sebagai “kurang mengambil tindakan pencegahan” atau “kurang berhati-hati”.

Memorie van Toelichting (MVT) menjelaskan bahwa dalam kealpaan, pada diri pelaku terdapat:

1. Kekurangan pemikiran (penggunaan akal) yang diperlukan;

2. Kekurangan pengetahuan (ilmu) yang diperlukan;

3. Kekurangan kebijaksanaan (beleid) yang diperlukan.

 

Vos menyatakan bahwa kealpaan mempunyai dua unsur yaitu:

1. Pembuat dapat “menduga terjadinya” akibat kelakuannya;
2. Pembuat “kurang berhati-hati” (pada pembuat ada kurang rasa tanggung jawab), dengan kata lain: andaikata pembuat delik lebih berhati-hati, maka sudah tentu kelakuan yang bersangkutan tidak dilakukan, atau dilakukannya secara lain.

 

Van hamel menyatakan Kealpaan mengandung dua syarat:

1. Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum;

2. Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.

Contohnya:

C menarik picu pistol karena mengira tidak ada isinya dan ternyata ada dan mengenai orang lain.  

 

Bentuk-bentuk kealpaan ada 2 (dua) yaitu:

1. Kealpaan yang disadari.

Dalam hal ini pelaku dapat membayangkan/memperkirakan akan timbulnya suatu akibat, tetapi ketika ia melakukan tindakannya dengan usaha pencegahan supaya tidak timbul akibat itu, namun akibat itu timbul juga

Contohnya: A mengendarai mobil dengan kecepatan 50 km/Jam, ia melihat banyak orang menyeberang jalan, tetapi kecepatannya tidak dikurangi karena ia yakin bahwa kemampuannya menyetir dan rem mobilnya yang baik sekali sehingga ia merasa dapat menghindari tabrakan. Tetapi tiba-tiba dalam jarak dekat sekali seseorang menyeberang dari arah kanan dan dengan reflex ia membanting stir ke kanan dengan maksud melewati penyeberang itu dari arah belakangnya. Tetapi rupanya penyeberang itu justru ragu, sehingga ia mundur dan tabrakan tidak dapat dihindari.

 

2. Kealpaan yang tidak disadari.

Dalam  hal ini sipelaku tidak dapat memperkirakan akan timbulnya suatu akibat tetapi seharusnya (menurut perhitungan umum/yang layak) pelaku dapat membayangkannya.

Menurut Hazewinkel – Suringa, dalam Culpa yang tidak disadari pembuktiannya sulit.

Contoh : Dalam kasus pengemudi mobil harus diperhatikan keadaan mobilnya khususnya yang berkaitan dengan keselamatan rem, ban, mesin, dan lain lai perlu diperiksa apakah baik atau tidak. Kemudaian apakah si pengemudi itu sangat lelah, tergesa-gesa, apakah ia memiliki SIM. Apabila tidak SIM, dapat diambil sebagai faktor Kealpaan/Culpa walaupun pengemudi itu sangat mahir mengemudi, (Putusan HR 30 januari 1962, NJ 1962, No. 162)