Friday 16 May 2014

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (“PERPU”)

I. Dasar Hukum

1. Pasal 22 ayat (1) UUD 1945;

2. UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;

3. Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden.

II. Pengertian PERPU

“Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa”

Berdasarkan Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 ada tiga syarat sebagai parameter adanya “kegentingan yang memaksa” bagi Presiden untuk menetapkan PERPU yaitu:

1. Adanya keadaan yaitu kebutuhanmendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;

2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;

3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan;

 

III. Proses Penyusunan PERPU

1. PERPU harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut (persidangan pertama DPR setelah PERPU ditetapkan oleh Presiden);

2. Pengajuan PERPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan RUU tentang penetapan PERPU menjadi Undang-Undang

3. DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap PERPU

4. Dalam hal PERPU mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, PERPU tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang.

5. Dalam hal PERPU tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, PERPU tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku.

6. Dalam hal PERPU harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (5), DPR atau Presiden mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan PERPU.

7. RUU tentang Pencabutan PERPU sebagaimana dimaksud pada ayat (6) mengatur segala akibat hukum dari pencabutan PERPU.

8. RUU tentang Pencabutan PERPU sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan menjadi Undang-Undang tentang Pencabutan PERPU dalam rapat paripurna yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (5).

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

1. Doktrin strict liability

Menurut doktrin strict liability, pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana bersangkutan dengan tidak perlu dibuktikan adanya Mens Rea/kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) para pelaku dan cukup dibuktikan bahwa pelaku telah melakukan perbuatan yang dilarang oleh ketentuan pidana atau tidak melakukan perbuatan yang diwajibkan oleh ketentuan pidana.

 

2. Doktrin  vicarious liability (diatur dalam Pasal 116 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup)

Menurut doktrin vicarious liability, seseorang agen atau pekerja korporasi bertindak dalam lingkup kerjanya dan bermaksud menguntungkan korporasi, melakukan suatu kejahatan, tanggung jawab pidananya dapat dibebankan pada perusahaan. Persoalan mendasar dari doktrin ini adalah apabila korporasi secara normatif telah mengeluarkan kebijakan untuk menghindari kesalahan sehingga perbuatan individu semata-mata dinilai sebagai pertanggungjawaban yang bersifat individual.

 

3. Ijzerdraad-arrest (H.R. 23-2-1954, N.J.1955, NR.378),

Berdasarkan ijzerdraad-arrest (H.R. 23-2-1954, N.J.1955, NR.378), pemilik perusahaan dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap suatu tindak pidana yang dilakukan oleh bawahannya  dengan dua kriteria yaitu:

Apakah kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya termasuk dalam kewenangan yang diberikan oleh pemilik perusahaan;

Apakah pemilik perusahaan menerima atau menyetujui tindakan yang dilakukan oleh bawahannya.

 

Penyadapan

I. Dasar Hukum

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika;

2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi;

4. Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme;

5. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

6. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat;

7. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang;

8. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;

9. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;

10. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara;

11. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial;

12. Peraturan Menteri Informasi dan komunikasi Nomor 11 Tahun 2006 tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi;

14. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Penyadapan Pada Pusat Pemantauan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Dari peraturan yang disebutkan diatas, hanya beberapa yang menyebutkan pengertian penyadapan yaitu penjelasan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, Pasal 19 angka 19 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan penjelasan Pasal 40 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi. Penyadapan adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan penyelidikan atau penyidikan dengan cara menyadap pembicaraan, pesan, informasi, dan/atau jaringan komunikasi yang dilakukan melalui telepon dan/atau alat komunikasi elektronik lainnya.

Banyaknya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyadapan dalam instansi penegak hukum yang berbeda mengakibatkan prosedur penyadapan dilakukan berdasarkan peraturan yang berlaku pada instansi yang terkait.akan tetapi pada dasarnya setiap penyadapan dilakukan berdasarkan bukti permulaan yang cukup.

 
II. Kedudukan Hasil Penyadapan dalam Pembuktian

Berdasarkan penjelasan pasal 31 UU ITE disebutkan bahwa “intersepsi atau penyadapan” adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi.

Mengacu pada pengertian diatas makan hasil penyadapan yang diperoleh oleh penegak hukum dalam bentuk informasi elektronik atau dokumen elektronik dapat digunakan sebagai alat bukti. Hal ini diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berbunyi:

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai.

Pasal 29 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang berbunyi:

Alat bukti selain sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dapat pula berupa:

1. Informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan

2. data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tidak terbatas pada:

3. tulisan, suara, atau gambar;

4. peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; atau

5. huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.

 

III. Penyadapan yang tidak sah

Berdasarkan penjelasan pasal 40 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, disebutkan bahwa penyadapan untuk tujuan mendapatkan informasi dengan cara tidak sah harus dilarang karena pada dasarnya informasi yang dimiliki oleh seseorang adalah hak pribadi yang harus dilindungi.

Hal ini juga diatur dalam pasal 47 UU ITE yang menyatakan bahwa “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah)”.

IV. Kesimpulan

1. Penyadapan dapat dilakukan oleh penegak hukum yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang;

2 Hasil penyadapan dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses peradilan pidana;

3. Bahwa penyadapan yang dilakukan oleh pihak yang tidak berwenang dan dengan prosedur yang tidak diatur dalam Undang-undang dilarang oleh Undang-undang.

 

 

 

Kealpaan/Kelalaian

Ilmu hukum pidana dan yurisprudensi menafsirkan kealpaan (culpa) sebagai “kurang mengambil tindakan pencegahan” atau “kurang berhati-hati”.

Memorie van Toelichting (MVT) menjelaskan bahwa dalam kealpaan, pada diri pelaku terdapat:

1. Kekurangan pemikiran (penggunaan akal) yang diperlukan;

2. Kekurangan pengetahuan (ilmu) yang diperlukan;

3. Kekurangan kebijaksanaan (beleid) yang diperlukan.

 

Vos menyatakan bahwa kealpaan mempunyai dua unsur yaitu:

1. Pembuat dapat “menduga terjadinya” akibat kelakuannya;
2. Pembuat “kurang berhati-hati” (pada pembuat ada kurang rasa tanggung jawab), dengan kata lain: andaikata pembuat delik lebih berhati-hati, maka sudah tentu kelakuan yang bersangkutan tidak dilakukan, atau dilakukannya secara lain.

 

Van hamel menyatakan Kealpaan mengandung dua syarat:

1. Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum;

2. Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.

Contohnya:

C menarik picu pistol karena mengira tidak ada isinya dan ternyata ada dan mengenai orang lain.  

 

Bentuk-bentuk kealpaan ada 2 (dua) yaitu:

1. Kealpaan yang disadari.

Dalam hal ini pelaku dapat membayangkan/memperkirakan akan timbulnya suatu akibat, tetapi ketika ia melakukan tindakannya dengan usaha pencegahan supaya tidak timbul akibat itu, namun akibat itu timbul juga

Contohnya: A mengendarai mobil dengan kecepatan 50 km/Jam, ia melihat banyak orang menyeberang jalan, tetapi kecepatannya tidak dikurangi karena ia yakin bahwa kemampuannya menyetir dan rem mobilnya yang baik sekali sehingga ia merasa dapat menghindari tabrakan. Tetapi tiba-tiba dalam jarak dekat sekali seseorang menyeberang dari arah kanan dan dengan reflex ia membanting stir ke kanan dengan maksud melewati penyeberang itu dari arah belakangnya. Tetapi rupanya penyeberang itu justru ragu, sehingga ia mundur dan tabrakan tidak dapat dihindari.

 

2. Kealpaan yang tidak disadari.

Dalam  hal ini sipelaku tidak dapat memperkirakan akan timbulnya suatu akibat tetapi seharusnya (menurut perhitungan umum/yang layak) pelaku dapat membayangkannya.

Menurut Hazewinkel – Suringa, dalam Culpa yang tidak disadari pembuktiannya sulit.

Contoh : Dalam kasus pengemudi mobil harus diperhatikan keadaan mobilnya khususnya yang berkaitan dengan keselamatan rem, ban, mesin, dan lain lai perlu diperiksa apakah baik atau tidak. Kemudaian apakah si pengemudi itu sangat lelah, tergesa-gesa, apakah ia memiliki SIM. Apabila tidak SIM, dapat diambil sebagai faktor Kealpaan/Culpa walaupun pengemudi itu sangat mahir mengemudi, (Putusan HR 30 januari 1962, NJ 1962, No. 162)