Thursday 3 March 2011

PAPER PENGADILAN HAM


PAPER PENGADILAN HAM
“SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL DAN PENGADILAN HAM INDONESIA”

Dosen :
Nella Sumika Putri, S.H., M.H.
Erika Magdalena C., S.H., M.H.

Disusun oleh :
Verawaty Marpaung (110110080058)


Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran
2011




A.   Sejarah Perkembangan Pengadilan pidana Internasional (ICC)
            Terbentuknya ICC merupakan buah perjuangan baik individual, pemerintah negara-negara maupun lembaga-lembaga lainnya yang semuanya mengharapkan terciptanya 'the rule of law' di level internasional. Tahun 1989-1998 merupakan saat-saat yang paling dramatis. Dalam suasana dan iklim dukungan publik internasional yang kuat terbentuklah pengadilan permanen ICC pada tgl. 17 Juli 1998 di Roma.
            Yurisdiksi ICC berkaitan dengan 4 kejahatan yang sangat berat yaitu genocide, crimes against humanity, war crimes and aggression.
            Dibawah ini penjelasan tentang Mahkamah Pidana Internasional yaitu  sebagai berikut:

1.    Mahkamah Militer Internasional Nurenberg
            Pada tanggal 8 Agustus 1945 4 Negara pemenang perang yaitu Inggris, Perancis, Uni Soviet, dan Amerika Serikat  menyelenggarakan Konferensi Internasional yang menghasilkan Perjanjian London (the Treaty of London) dimana salah satu substansi dari perjanjian tersebut adalah pembentukan badan pengadilan kriminal internasional yang bernama Mahkamah Militer Internasional yang berkedudukan di  Nurenberg Jerman untuk mengadili para pelaku kejahatan perang Dunia II Eropah.[1]
            Yurisdiksi Mahkamah Militer Internasional Nurenberg menyangkut 3 kategori kejahatan  yaitu : crimes against peace, war crimes and crimes against humanity.[2]

2.    Mahkamah Militer Internasional Tokyo.
            Mahkamah Militer Internasional Tokyo 1946 dibentuk oleh pihak sekutu dengan memberikan kewenangan yang cukup besar kepada pemnguasa perang tertinggi pihak sekutu di timur jauh ( Asia Pasifik) yaitu Jendral Douglas McAthur.[3]
            Yurisdiksi Mahkamah Militer Internasional meliputi Yurisdiksi Personal, Teritorial, temporal dan Kriminal.

3.    International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY).
            ICTY dibentuk melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB pada tahun 1993 guna menginvestigasi, menuntut dan mengadili individu-individu yang bertanggung jawab atas terjadinya pelanggaran berat terhadap hukum humaniter internasional selama konflik bersenjata sejak tahun 1991.[4]
            Yurisdiksi materi dari ICTY mencakup pertanggungjawaban pidana secara individual (individual crimina responsibility) atas kejahatan: 'genocide, crimes against humanity, graves breaches of the Geneva, Conventions, and violations of the laws and customs of war ('war crimes')' yang dilakukan di dalam wilayah bekas Yugoslavia sejak 1 Januari 1991 sampai dengan tanggal yang akan ditetapkan setelah terlaksananya restorasi perdamaian. Dalam hal ini juga diatur 'Command Responsibility' , baik yang bersifat aktif maupun pasif (crimes by omission). ICTY mempunyai kedudukan 'primacy' terhadap pengadilan nasional. Peradilan 'in absentia' tidak dimungkinkan. Dengan asas 'individual criminal responsibility', maka tidak dimungkinkan penuntutan pidana terhadap Negara, organisasi dan asosiasi.[5]




4.    International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR).
            ICTR dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB pada bulan November 1994 dan berlokasi di Arusha, Tanzania.[6] ICTR bertujuan untuk menuntut dan mengadili orangorang yang bertanggungjawab atas terjadinya 'genosida' dan kejahatan-kejahatan berat lain yang melanggar hukum humaniter internasional di Rwanda atau oleh orang - orang Rwanda di negara-negara tetangga selama tahun 1994, khususnya yang dilakukan oleh ekstremis suku Hutu terhadap antara 500.000 sampai satu juta suku Tutsi danorang-orang moderat dari suku Hutu selama kurang lebih 3 bulan.
            Yurisdiksi ICTR meliputi kejahatan-kejahatan 'genocide, violations of Common. Melalui Statuta ICTR secara tegas dirumuskan bahwa 'crimes against humanity' tidak ada kaitannya dengan konflik bersenjata (war crimes). Jadi bisa terjadi dulu masa perang atau damai (no nexus with an armed conflict).
Persamaan-persamaan (similarities) antara ICTY dan ICTR adalah sebagai berikut.
-          Keduanya dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB atas dasar Chapter VII UN Charter.
-          Keduanya merupakan 'subsidiary organs' Dewan Keamanan.
-          Keduanya terikat untuk menerapkan hukum internasional yang merupakan bagian dari hukum kebiasaan internasional.
-          Keduanya memiliki struktur yang sama.

Perbedaan-perbedaannya (differences) adalah sebagai berikut.
-          ICTY memiliki jurisdiksi terhadap pelbagai kejahatan baik di dalam 'international armed conflict' maupun 'internal armed conflict'. ICTR memlliki jurisdiksi terhadap kejahatan yang dilakukan dalam 'internal armed conflict'.
-          ICTY memiliki jurisdiksi terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan hanya apabila dilakukan di dalam suatu konflik bersenjata. ICTR mempunyai jurisdiksi terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan hanya apabila dilakukan 'on national, political, ethnic;, racial or other religious ground'.[7]


B.   Sejarah Perkembangan Pengadilan HAM di Indonesia
            Masalah perlindungan HAM di Indonesia menjadi salah satu faktor utama terjadinya gerakan reformasi di Indonesia pada penghujung Tahun 1998. Komitmen Indonesia terhadap HAM dibuktikan melalui keberadaan TAP MPR-RI No. XVII/MPR/1998; UU No.39 Tahun 1999 dan UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan puncaknya adalah pemantapan pengaturan HAM dalam UUD 1945 melalui proses amandemen dan dengan langkah-Iangkah meratifikasi berbagai instrumen HAM internasional. Tidak dapat diingkari bahwa keberadaan UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM sebagai perbaikan dari PERPU sebelumnya merupakan reaksi terhadap dunia internasional yang ingin mengadili mereka yang dituduh melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Timur paska jejak pendapat. Bangsa Indonesia secara terhormat memutuskan untuk menyelesaikan sendiri persoalan tersebut melalui Pengadilan Nasional, yang substansi hukumnya secara parsial adalah disesuaikan dengan ICC. Namun demikian setelah mengkaji peengalaman dalam praktek kiranya perlu beberapa penegasan, apabila melalui amandemen terhadap UU No.26 Tahun 2000 dalam hal-hal sebagai berikut:
-          Jurisdiksi Pengadilan HAM, sebaiknya juga mencakup kejahatan perang (war crimes). Mengingat potensi konflik bersenjata non internasional masih cukup besar di Indonesia; Pengalaman masa lalu meyakinkan bangsa Indonesia atas kesiapan TNI dan aparat yang lain untuk bertindak professional dalam melaksanakan tugasnya.
-          Terjemahan Statuta Roma 1998 tentang ICC sepanjang mengenai perumusan kejahatan terhadap kemanusiaan yang mengadopsi perumusan ICC tidak sempurna dan tidak lengkap. Contohnya adalah pengertian serangan (attack) yang menghilangkan kalimat '...to commit such attack'; kemudian penghilangan kata 'any' sebelum kata 'population' yang bermakna luas serta penghapusan kejahatan yang ke 11 dalam kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu 'Other inhumane acts of a similar character intentionally causing great suffering, or serious injury to body or to mental or physical health';
-          Harmonisasi terhadap Statuta Roma 1998 tidak lengkap, karena sekaligus tidak melakukan harmonisasi terhadap dua dokumen yang lain yaitu dokumen 'The Elements of Crime' dan Dokumen 'Rule of Procedure and Evidence' ;
-          Kedudukan Komnas HAM sebagai penyelidik ad hoc; harus disertai dengan ekspertis penyelidikan yang memadai;
-          Standar implementasi Pasal 43, khususnya tentang lembaga mana yang berwenang untuk menentukan ada atau tidaknya 'pelanggaran HAM berat' sebagai syarat untuk dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc atas usul DPR dengan Keputusan Presiden perlu penegasan;
-          Implementasi Pasal 47 tentang keharusan untuk membentuk UU tentang Komisi Kebenaranoan Rekonsiliasi belum terlaksana;
-          Pidana minimum khusus yang penerapannya tidak disertai dengan pedoman, menimbulkan kesulitan dalam - perspektif keadilan;
-          Pedoman yang berkaitan dengan 'command responsibility', perlu dipertegas, sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda.[8]



























DAFTAR PUSTAKA
1.    I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional, Bandung, Yrama Widya, 2006.
3.    Undang – Undang No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM






[1] I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional, Bandung, Yrama Widya, 2006, hal. 182
[2] Ibid, hal.183
[3]Ibid, hal. 185
[4]bid, hal. 192
[6] I Wayan Parthiana, Op. Cit., hal.192
[7] www.google.com
[8] www.google.com

No comments:

Post a Comment