Friday 16 May 2014

Kealpaan/Kelalaian

Ilmu hukum pidana dan yurisprudensi menafsirkan kealpaan (culpa) sebagai “kurang mengambil tindakan pencegahan” atau “kurang berhati-hati”.

Memorie van Toelichting (MVT) menjelaskan bahwa dalam kealpaan, pada diri pelaku terdapat:

1. Kekurangan pemikiran (penggunaan akal) yang diperlukan;

2. Kekurangan pengetahuan (ilmu) yang diperlukan;

3. Kekurangan kebijaksanaan (beleid) yang diperlukan.

 

Vos menyatakan bahwa kealpaan mempunyai dua unsur yaitu:

1. Pembuat dapat “menduga terjadinya” akibat kelakuannya;
2. Pembuat “kurang berhati-hati” (pada pembuat ada kurang rasa tanggung jawab), dengan kata lain: andaikata pembuat delik lebih berhati-hati, maka sudah tentu kelakuan yang bersangkutan tidak dilakukan, atau dilakukannya secara lain.

 

Van hamel menyatakan Kealpaan mengandung dua syarat:

1. Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum;

2. Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.

Contohnya:

C menarik picu pistol karena mengira tidak ada isinya dan ternyata ada dan mengenai orang lain.  

 

Bentuk-bentuk kealpaan ada 2 (dua) yaitu:

1. Kealpaan yang disadari.

Dalam hal ini pelaku dapat membayangkan/memperkirakan akan timbulnya suatu akibat, tetapi ketika ia melakukan tindakannya dengan usaha pencegahan supaya tidak timbul akibat itu, namun akibat itu timbul juga

Contohnya: A mengendarai mobil dengan kecepatan 50 km/Jam, ia melihat banyak orang menyeberang jalan, tetapi kecepatannya tidak dikurangi karena ia yakin bahwa kemampuannya menyetir dan rem mobilnya yang baik sekali sehingga ia merasa dapat menghindari tabrakan. Tetapi tiba-tiba dalam jarak dekat sekali seseorang menyeberang dari arah kanan dan dengan reflex ia membanting stir ke kanan dengan maksud melewati penyeberang itu dari arah belakangnya. Tetapi rupanya penyeberang itu justru ragu, sehingga ia mundur dan tabrakan tidak dapat dihindari.

 

2. Kealpaan yang tidak disadari.

Dalam  hal ini sipelaku tidak dapat memperkirakan akan timbulnya suatu akibat tetapi seharusnya (menurut perhitungan umum/yang layak) pelaku dapat membayangkannya.

Menurut Hazewinkel – Suringa, dalam Culpa yang tidak disadari pembuktiannya sulit.

Contoh : Dalam kasus pengemudi mobil harus diperhatikan keadaan mobilnya khususnya yang berkaitan dengan keselamatan rem, ban, mesin, dan lain lai perlu diperiksa apakah baik atau tidak. Kemudaian apakah si pengemudi itu sangat lelah, tergesa-gesa, apakah ia memiliki SIM. Apabila tidak SIM, dapat diambil sebagai faktor Kealpaan/Culpa walaupun pengemudi itu sangat mahir mengemudi, (Putusan HR 30 januari 1962, NJ 1962, No. 162)

No comments:

Post a Comment