Friday 16 May 2014

Penyadapan

I. Dasar Hukum

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika;

2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi;

4. Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme;

5. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

6. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat;

7. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang;

8. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;

9. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;

10. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara;

11. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial;

12. Peraturan Menteri Informasi dan komunikasi Nomor 11 Tahun 2006 tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi;

14. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Penyadapan Pada Pusat Pemantauan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Dari peraturan yang disebutkan diatas, hanya beberapa yang menyebutkan pengertian penyadapan yaitu penjelasan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, Pasal 19 angka 19 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan penjelasan Pasal 40 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi. Penyadapan adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan penyelidikan atau penyidikan dengan cara menyadap pembicaraan, pesan, informasi, dan/atau jaringan komunikasi yang dilakukan melalui telepon dan/atau alat komunikasi elektronik lainnya.

Banyaknya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyadapan dalam instansi penegak hukum yang berbeda mengakibatkan prosedur penyadapan dilakukan berdasarkan peraturan yang berlaku pada instansi yang terkait.akan tetapi pada dasarnya setiap penyadapan dilakukan berdasarkan bukti permulaan yang cukup.

 
II. Kedudukan Hasil Penyadapan dalam Pembuktian

Berdasarkan penjelasan pasal 31 UU ITE disebutkan bahwa “intersepsi atau penyadapan” adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi.

Mengacu pada pengertian diatas makan hasil penyadapan yang diperoleh oleh penegak hukum dalam bentuk informasi elektronik atau dokumen elektronik dapat digunakan sebagai alat bukti. Hal ini diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berbunyi:

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai.

Pasal 29 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang berbunyi:

Alat bukti selain sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dapat pula berupa:

1. Informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan

2. data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tidak terbatas pada:

3. tulisan, suara, atau gambar;

4. peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; atau

5. huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.

 

III. Penyadapan yang tidak sah

Berdasarkan penjelasan pasal 40 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, disebutkan bahwa penyadapan untuk tujuan mendapatkan informasi dengan cara tidak sah harus dilarang karena pada dasarnya informasi yang dimiliki oleh seseorang adalah hak pribadi yang harus dilindungi.

Hal ini juga diatur dalam pasal 47 UU ITE yang menyatakan bahwa “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah)”.

IV. Kesimpulan

1. Penyadapan dapat dilakukan oleh penegak hukum yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang;

2 Hasil penyadapan dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses peradilan pidana;

3. Bahwa penyadapan yang dilakukan oleh pihak yang tidak berwenang dan dengan prosedur yang tidak diatur dalam Undang-undang dilarang oleh Undang-undang.

 

 

 

No comments:

Post a Comment