Tuesday 12 April 2011

Hukum Pemerintahan Daerah

1.      Jenis – jenis ajaran rumah tangga dan sistem rumah tangga yang dianut oleh Indonesia berdasarkan Undang – undang Nomor 32 tahun 2004

a.      Ajaran rumah tangga formal
Pada sistem rumah tangga formal, pembagian wewenang, tugas dan tanggung jawab antara pusat dan daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tertentu tidak ditetapkan secara rinci.[1]
Dalam ajaran rumah tangga formil tidak terdapat perbedaan sifat antara tugas-tugas yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan oleh pemerintah daerah. Apa yang dapat dikerjakan oleh pemerintah pusat pada prinsipnya dapat dikerjakan pula oleh pemerintah daerah demikian pula sebaliknya. Bila ada pembagian tugas maka itu didasarkan atas pertimbangan rasional dan praktis. Artinya pembagian tugas itu tidaklah disebabkan karena materi yang diatur berbeda sifatnya, melainkan semata-mata karena keyakinan bahwa kepentingan daerah itu lebih baik dan berhasil jika diselenggarakan sendiri daripada diselenggarakan oleh pemerintah pusat. Jadi pertimbangan efisiensilah yang menentukan pembagian tugas itu bukan disebabkan oleh perbedaan sifat dari urusan yang menjadi tanggung jawab masing-masing.[2]
Sistem rumah tangga formal merupakan sarana yang baik untuk mendukung kecederungan sentralisasi. Ketidakpastian urusan rumah tangga daerah, tidak ada tradisi otonomi, rendahnya inisiatif daerah akan menjelmakan daerah yang serbah menunggu dan tergantung kepada pusat. Terlebih lagi apabila keuangan daerah tidak mampu menopang kegiatannya dan tergantung pula pada bantuan keuangan dari pusat.[3]
b.      Ajaran rumah tangga materil
      Dalam hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah ada pembagian tugas yang jelas, dimana tugas-tugas tersebut diperinci dengan jelas dan diperiinci dengan tegas dalam Undang –Undang tentang pembentukan suatu daerah. Artinya rumah tangga daerah itu hanya meliputi tugas-tugas yang telah ditentukan satu persatu dalam Undang-Undang pembentukannya. Apa yang tidak termasuk dalam perincian tidak termasuk dalam rumah tangga daerah, melainkan tetap berada ditangan pemerintah pusat. Jadi ada perbedaan sifat materi antara tugas pemerintah pusat dam pemerintah daerah.
c.       Ajaran rumah tangga secara riil
Sistem rumah tangga ini berdasarkan pada kenyataan dan faktor – faktor senyatanya yang dimiliki oleh daerah, sehinnga terdapat harmoni antara tugas dengan kemampuan dan kekuatan, baik dalam daerah itu sendiri maupun dengan pemerintah pusat. Keadaan nyata tersebut tercermin dari kemampuan atau kekuatan daerah baik menyangkut kemampuan keuangan, sumber daya manusianya maupun kemampuan lainnya. Ajaran ini merupakan jalan tengah antara ajarann rumah tangga materiil dan ajaran rumah tangga formal. Sistem rumah tangga riil pertama kali dipergunakan oleh Undang – undang Nomor 1 tahun 1957.[4]

Ajaran rumah tangga yang dianut oleh Indonesia berdasarkan Undang – undang Nomor 32 tahun 2004
Dalam UU No.32 Tahun 2004 pasal 1 ayat 2 Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam UU No.32 Tahun 2004 pasal 1 ayat 5 menyebutkan bahwa : Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam UU No 32 tahun 2004 ini Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.[5]
Undang-undang No 32 tahun 2004 menganut sistem/ajaran rumah tangga materil  yaitu yang terdapat dalam Pasal 10 ayat 1 Undang-Undang No 32 Tahun 2004 “Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah”.
Undang-undang ini menganut juga sistem formal  dalam pasal 10 ayat 2 UU No. 32 Tahun 2004 “Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan”. Dimana dalam hal ini Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertuujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Undang-undang ini juga menganut sistem riil (dalam Pasal 13 ayat 2 dan Pasal 14 ayat 2 UU No. 32 Tahun 2004). Dimana untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi daerah.

1.      Pengertian teori pembagian kekuasaan secara vertikal
-          Menurut Jimly asshiddiqe, pembagian kekuasaan bersifat vertikal dalam arti perwujudan kekuasaan itu dibagikan secara vertikal kebawah kepada lembaga –lembaga tinggi negara dibawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat.[6]
-          Miriam Budiarjo membagi pembagian kekuasaan ke dalam dua cara, salah satunya adalah pembagian kekuasaan secara vertikal. Pembagian kekuasaan secara vertikal yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatnya dan dalam hal ini yang dimaksud ialah pembagian kekuasaan antara beberapa tingkatan pemerintahan.[7]
-          Carl J. Friedrich memakai istilah pembagian kekuasaan secara teritorial (territorial division of power). Pembagian kekuasaan semacam ini dengan jelas dapat ditemukan baik di negara kesatuan, negara federal,  maupun negara konfederasi.[8] 

Ø  Pembagian kekuasaan secara vertikal dihubungakan dengan bentuk negara kesatuan
Secara vertikal, bentuk negara kesatuan memperlihatkan terdapatnya wewenang legislatif tertinggi dipusatkan di satu badan legislatif nasional. Sementara itu kekuasaan berada di tangan pemerintah pusat dengan kewenangan memberikan sebagian kekuasaannya kepada daerah sesuai hak otonomi yang dimiliki daerah tersebut. Sehingga hakekat atau prinsip negara kesatuan adalah kedaulatan tidak terbagi.
Negara kesatuan, asumsi dasarnya berbeda secara diametrik dari negara federal. Formasi negara kesatuan di deklarasikan saat kemerdekaan oleh para pendiri negara dengan mengklaim seleruh wilayahnya sebagai bagian dari satu negara. Tidak ada kesepakaan para penguasa derah, apalagi negar-negara. Karena diasumsikan bahwa semua wilayah yang termasuk didalamnya bukanlah bagian-bagian wilayah yang bersifat independen.
Pada Prinsipnya pembagian kekuasaan atau kewenangan pada Negara Kesatuan adalah:
a.       kekuasaan atau kewenangan pada dasarnya milik pemerintah pusat, daerah diberi hak dan kewajiban mengelola dan menyelenggarakan sebagian kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan atau diserahkan. Jadi, terjadi proses penyerahan atau pelimpahan kewenangan.
b.      Pemerintah pusat dan pemerintah daerah tetap memiliki garis komando dan hubungan hierarkis. Pemerintah sebagai subordinasi pemerintah pusat, namun hubungan yang dilakukan tidak untuk mengintervensi dan mendikte pemerintah daerah dalam berbagai hal.
c.       kewenangan atau kekuasaan yang dialihkan atau diserahkan kepada daerah dalam kondisi tertentu, di mana daerah tidak mampu menjalankan dengan baik, maka kewenangan yang dilimpahkan dan diserahkan tersebut dapat ditarik kembali ke pemerintah pusat sebagai pemilik kekuasaan atau kewenangan tersebut. Jadi, berdasarkan konsepsi Negara Kesatuan, apa pun metode yang digunakan baik ultravires maupun general competence, keberadaan peran pemerintah pusat tetap dibutuhkan untuk mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan pemerintahan secara menyeluruh.[9]

Ø  Pembagian kekuasaan secara vertikal dihubungakan dengan bentuk negara Federal
Prinsip Negara federal ialah bahwa kekuasaan dibagi sedemikian rupa sehingga pemerintah federal dan pemerintah negara bagian dalam bidang-bidang tertentu bebas satu sama lain. Misalnya hub luar negeri dan soal mencetak uang, pemerintah federal sama sekali bebas dari pemerintah negara bagian. Sedangkan dalam soal-soal yang menyangkut negara-bagian belaka yang tidak termasuk kepentingan nasional diserahkan kepada kekuasaan negara bagian (KC Wheare, Federal Government).[10]
Negara federal berangkat dari satu asumsi dasar bahwa ia dibentuk oleh sejumlah negara atau wilayah yang independen, yang sejak awal memiliki kedaulatan atau semacam kedaulatan pada dirinya masing-masing. Negara-negara atau wilayah-wilayah itu yang kemudian bersepakat membentuk sebuah federal. Negara dan wilayah pendiri federal itu kemudian berganti status menjadi negara bagian atau wilayah administrasi dengan nama tertentu dalam lingkungan federal.
Dengan kata lain, negara atau wilayah yang menjadi anggota federasi itulah yang pada dasarnya memiliki semua kekuasaan yang kemudian diserahkan sebagian kepada pemerintahan federal. Biasanya, pemerintahan federal diberikan kekuasaan penuh dibidang moneter, pertahanan, peradilan dan hubungan luar negeri. Kekuasaan lainnya cenderung tetap dipertahankan oleh negara bagian atau wilayah adminstrasi. Kekuasaan negara bagian biasanya sangat menonjol dalam urusan domestik, seperti pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial dan keamanan masyarakat (kepolisian).[11]
Pada federalisme, kedaulatan berada pada wilayah/daerah yang kemudian sebagiannya diserahkan ke pemerintah federal/pusat. Pembagian Kekuasaan dan kewenangan antara Negara Federal dengan Negara Bagian dalam bidang pemerintahan satu sama lainnya tidak saling membawahi, tetapi senantiasa berkoordinasi. Pembagian kedaulatan dalam Negara Federal berlawanan dengan paham dan sifat kedaulatan itu sendiri. Kedaulatan berada di tangan Negara Bagian dan bukan di Negara Federal. Negara Federal tidak mempunyai wujud Negara, tetapi merupakan pelaksanaan kerja sama di antara berbagai Negara yang masing-masing tetap berwujud Negara. Negara Bagian yang tergabung dalam Negara Federal tetap memegang kedaulatannya sendiri dan tidaklah mungkin terdapat dua Negara berdampingan dan sama-sama berdaulat, berdiri di suatu latar. Negara Federal tidak lain merupakan persekutuan dari beberapa Negara yang masing-masing berdaulat penuh. Kedaulatan tidak dapat terpecah-pecah, kedaulatan tidak harus dianggap melulu berada di Negara Federal atau melulu di Negara Bagian. Kedaulatan dimiliki oleh kedua-duanya, Negara Federal dan Negara Bagian secara keseluruhan memiliki kedaulatan. Pelaksanaan Pemerintahan Daerah dalam Negara Federal yang dikenal dengan istilah pemerintah Negara Bagian dan Negara Kesatuan yang dikenal dalam istilah pemerintah daerah (provinsi) berbeda. Negara Bagian dalam Federal lebih bebas dan mempunyai hak-hak asli dalam menyelenggarakan kepentingan bersama, yang dipusatkan di dalam Pemerintah Federal.
Ada dua kriteria untuk membedakan antara Negara Federal dan Negara Kesatuan berdasarkan hukum positif. Pertama, Negara Bagian dalam ikatan Negara Federal memiliki pouvoir constituant, yaitu wewenang membentuk UUD sendiri dan wewenang dalam
mengatur bentuk organisasi sendiri dalam rangka, Konstitusi Federal, sedangkan Kesatuan pemerintahan sub-nasional (daerah) dalam Negara Kesatuan tidak memiliki pouvoir contituant dan organisasinya secara garis besar ditetapkan oleh pembuat undang-undang di
pemerintah pusat. Kedua, dalam Negara Federal, wewenang pembentuk undang-undang Federal ditetapkan secara rinci dalam Konstitusi Federal. Sementara, dalam Negara Kesatuan, wewenang pembentuk undang-undang pusat diatur secara umum, sedangkan wewenang pembentuk undang-undang dalam arti materil dari pemerintahan sub-nasional (daerah) tergantung pada badan pembentuk undang-undang pusat.[12]

2.      Urgensi dari pemencaran kekuasaan secara vertikal
Dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan negara yang menganut prinsip pemencaran kekuasaan secara vertikal, membagi kewenangan kepada pemerintah daerah bawahan dalam bentuk penyerahan kewenangan. Penerapan prinsip ini melahirkan model pemerintahan daerah yang menghendaki adanya otonomi dalam penyelenggaraannya. Dalam sistem ini, kekuasaan negara terbagi antara “pemerintah pusat” disatu pihak, dan “pemerintahan daerah” di lain pihak sehingga terjadi penyerahan urusan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Penerapan pembagian kekuasaan dalam rangka penyerahan kewenangan otonomi daerah, antara negara yang satu dengan negara yang lain tidak sama, termasuk Indonesia yang menganut sistem negara kesatuan.
Pemencaran kekuasaan vertikal memiliki sisi positif yaitu sebagai upaya tumbuh-kembangnya kreativitas, inovasi, mutu, fleksibilitas, dan mobilitas yang merupakan prasyarat agar pemerintahan di daerah dapat bekerja lebih maksimal dan kemandirian akan melahirkan peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat di daerah, meningkatkan efisiensi kinerja pemerintah, dan memaksimalkan ptensi-potensi lokal Muaranya, perkembangan otonomi daerah tersebut akan memberikan kontribusi pada peningkatan kualitas secara nasional. Daerah otonom, berarti pemerintahan yang mandiri. Ini layaknya sebuah organisasi yang mengelola rumah tangganya sendiri
Fakta yang tidak bisa dipungkiri, bahwa di samping harapan-harapan positif dari penyelenggaraan otonomi daerah, ternyata juga melahirkan dampak negatif. Beberapa kasus yang terjadi di lapangan, banyak terjadi penyelewengan wewenang oleh kepala daerah. Disamping itu Pejabat di daerah memiliki kewenangan lebih, justru menyuburkan korupsi di daerah. Lebih parah lagi, tidak ada pihak-pihak yang aktif dan kritis mengontrol kewenangan pejabatnya. Institusi-institusi pengontrol sebenarnya sudah dibentuk. Hanya tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Bahkan mereka justru ikut terjerumus dalam praktik korupsi juga. DPRD sebagai perwakilan masyarakat di daerah, justru merupakan salah satu lembaga terkorup di daerah.

3.      Asas – asas penyelenggaraan pemerintahan daerah
Berbicara landasan asas pelaksanaan Pemerintahan Daerah, akan dijumpai tiga asas pokok yang selama ini sering digunakan banyak Negara yakni asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan asas tugas pembantuan (medebewind).
a.      Asas Desentralisasi
Adalah Asas yang menyatakan penyerahan sejumlah urusan pemerintahan dari pemerintah pusat, atau Pemerintah Daerah yang lebih tinggi kepada Pemerintah Daerah yang lebih rendah tingkatnnya sehingga menjadi urusan rumah tanggga daerah itu dan tetap dalam kerangka NKRI.[13]
Menurut UU Nomor 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 7,  Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemaknaan asas desentralisasi mejadi perdebatan di kalangan para pakar, dari pemaknaan para pakar tersebut
1)      Agus Salim Andi Gadjong mengklasifikasikan desentralisasi sebagai berikut:
-          Desentralisasi sebagai penyerahan kewenangan dan kekuasaan dari pusat ke daerah
-          Desentralisasi sebagai pelimpahan kekuasaan dan kewenangan
-          Desentralisasi sebagai pembagian, penyebaran, pemencaran, dan pemberian kekuasan dan kewenangan
-          Desentralisasi sebagai sarana dalam pembagian dan pembentukan daerah pemerintahan.[14]

2)      Menurut R.G .Kartasapoetra
Desentralisasi diartikan sebagai penyerahan urusan dari pemerintah pusat kepada daerah menjadi urusan rumah tangganya. Penyerahan ini bertujuan untuk mencegah pemusatan kekuasaan, keuangan serta sebagai pendemokratisasian pemerintahan, untuk mengikutsertakan rakyat bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pemerintahan di daerah.[15]
3)      Hazairin dalam The LiangGie
Desentralisasi sebagai suatu cara pemerintahan dalam mana sebagian kekuasaan mengatur danmengurus dari Pemerintahan Pusat diserahkan kepada kekuasaankekuasan bawahan sehingga sehingga daerah mempunyai pemerintahan sendiri.[16]
4)      E. Koswaraz
Desentralisasi adalah sebagai proses penyerahan urusan-urusan pemerintahan yang semula termasuk wewenang pemerintah pusat kepada badan atau lembaga Pemerintahan Daerah agar menjadi urusan rumahtangganya sehingga urusan tersebut beralih kepada dan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.[17]
5)      Logemen
Logemen menggunakan istilah pelimpahan, desentralisasi diartikan sebagai pelimpahan kekuasaan dari penguasa Negara kepada persekutuan-persekutuan yang berpemerintahan sendiri. Berbicara macam desentralisasi banyak pakar yang membagi desentralisasi menjadi beberapa jenis. Logemen memasukkan dekonsentrasi ke dalam desentralisasi sehingga penngertian desentralisasi menjadi luas. Logemen membagi desentralisasi menjadi dua macam yakni pertama dekonsentrasi atau desentralisasi jabatan (ambelitjke decentralisatie) yaitu pelimpahan kekuasaan dari tingkatan lebih atas kepada bawahannya guna melancarkan pekerjaan di dalam melaksanakan tugas pemerintahan. Kedua desentralisasi ketataNegaraan (staatkundige decentralisatie) yaitu pelimpahan kekuasaan perundangan dan pemerintahan kepada daerah-daerah otonom di dalam lingkungannya, dari desentralisasi ini dapat dibagi dalam dua macam yakni desentralisasi teritorial dan desentralisasi fungsional. Desentralisasi teritorial adalah penyerahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (otonom) dan batas pengaturan termaksud adalah daerah; sedangkan desentralisasi fungsional adalah penyerahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus fungsi tertentu dan batas pengaturan termaksud adalah jenis fungsi itu sendiri.[18]
            Desentralisasi menunjukkan :
1.      Satuan-satuan desentralisasi lebih fleksibel dalam memenuhi berbagai perubahan yang terjadi dengan cepat;
2.      Satuan-satuan desentralisasi dapat melaksanakan tugas lebih efektif
3.      dan lebih efisien;
4.       Satuan-satuan desentralisasi lebih inovatif;
5.      Satuan-satuan desentralisasi mendorong tumbuhnya sikap moral yang lebih tinggi, komitmen yang lebih tinggi dan lebih produktif.[19]

b.      Asas Dekonsentrasi
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintahan kepada daerah otonom sebagai wakil pemerintah dan/atau perangkat pusat di daerah dalam kerangka Negara Kesatuan, dan lembaga yang melimpahkan kewenangan dapat memberikan perintah kepada pejabat yang telah dilimpahi kewenangan itu mengenai pengambilan atau pembuatan keputusan.[20]
Menurut UU Nomor 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 7, Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
Sebab terjadinya penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabat-pejabat atau aparatnya untuk melaksanakan wewenang tertentu dilakukan dalam rangka menyelenggarakan urusan pemerintah pusat di daerah, sebab pejabat-pejabat atau aparatnya merupakan wakil pemerintah pusat di daerah yang bersangkutan. Dekonsentrasi merupakan salah satu jenis desentralisasi, dekonsentrasi sudah pasti desentralisasi, tetapi desentralisasi tidak selalu berarti dekonsentrasi. Stronk berpendapat bahwa pemancaran kewenangan pusat kepada petugasnya yang tersebar di wilayah-wilayah untuk melaksanakan kebijaksanaan pusat. Pendelegasian wewenang pada dekonsentrasi hanya bersifat menjalankan atau melaksanakan peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan pusat lainnya yang tidak berbentuk peraturan yang tidak dapat berprakarsa menciptakan peraturan dan atau membuat keputusan bentuk lainnya untuk kemudian dilaksanakan sendiri pula.
Jadi, dekonsentrasi diartikan sebagai penyebaran atau pemancaran kewenangan pusat kepada petugasnya yang tersebar di wilayah-wilayah untuk melaksanakan kebijaksanaan pusat. Pendelegasian wewenang pada dekonsentrasi hanya bersifat menjalankan atau melaksanakan peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan pusat lainnya yang tidak berbentuk peraturan yang tidak dapat berprakarsa menciptakan peraturan dan atau membuat keputusan bentuk lainnya untuk kemudian dilaksanakan sendiri pula.

c.       Asas Medbewind (tugas pembantuan)
Adalah penugasan pemerintah pusat ke daerah atau dari pemerintah daerah ke desa untuk tugas tertentu dan wajib bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas tertentu tersebut kepada yang memberi tugas.[21]
Menurut UU Nomor 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 8, Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Tugas pembantuan (medebewind) adalah keikutsertaan pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah yang kewenangannya lebih luas dan lebih tinggi di daerah tersebut. Tugas pembantuan adalah salah satu wujud dekonsentrasi, akan tetapi pemerintah tidak membentuk badan sendiri untuk itu, yang tersusun secara vertikal. Jadi medebewind merupakan kewajibankewajiban untuk melaksanakan peraturan-peraturan yang ruang lingkup wewenangnya bercirikan tiga hal yaitu :
-          Materi yang dilaksanakan tidak termasuk rumah tangga daerah-daerah otonom untuk melaksanakannya.
-          Dalam menyelenggarakan pelaksanaan itu, daerah otonom itu mempunyai kelonggaran untuk menyesuaikan segala sesuatu dengan kekhususan daerahnya sepanjang peraturan mengharuskannya memberi kemungkinan untuk itu,
-          Yang dapat diserahi urusan medebewind hanya daerah - daerah otonom saja, tidak mungkin alat-alat pemerintahan lain yang tersusun secara vertikal.[22]

4.      Pengertian urusan pemerintahan menurut pendapat para ahli dan jenis – jenis urusan pemerintahan
-          Menurut PP No. 38 Tahun 2007, Urusan pemerintah adalah fungsi-fungsi pemerintahan yang menjadi hak dan kewajiban setiap tingkatan dan/atau susunan pemerintahan untuk mengatur dan mengurusnya, yang menjadi kewenangannya, dalam rangka melindungi, melayani, memberdayakan, dan mensejahterakan masyarakat.
-          Diana Halim Koentjoro dalam bukunya Hukum Administrasi Negara, yang dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah semua kegiatan yang bersifat eksekutif, yang tidak merupakan kegiatan pembuatan perundang- undangan (legislatif) dan bukan kegiatan mengadili (yudikatif).[23]
-          Agussalim Andi Gadjong menyebutkan urusan pemerintah sebagai urusan rumah tangganya. Isi wewenang meliputi urusan yang diterima melalui penyerahan urusan sebagai lanjutan dari wewenang pangkal yang dimuat dalam UU pembentukan daerah otonom.[24]
Jenis Urusan pemerintahan  daerah berdasarkan pasal 10 ayat 3, meliputi :
a.       politik luar negeri;
b.       pertahanan;
c.       keamanan;
d.      yustisi;
e.       moneter dan fiskal nasional; dan
f.       agama.

Berdasarkan UU Nomor 32 tahun 2004 pasal 11 ayat 1 Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan.
Kriteria eksternalitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak/akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan kabupaten/kota, apabila regional menjadi kewenangan provinsi, dan apabila nasional menjadi kewenangan Pemerintah.
Kriteria akuntabilitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang menangani sesuatu bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung/dekat dengan dampak/akibat dari urusan yang ditangani tersebut. Dengan demikian akuntabilitas penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin.
Kriteria efisiensi adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya (personil, dana, dan peralatan) untuk mendapatkan ketepatan, kepastian, dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam penyelenggaraan bagian urusan. Artinya apabila suatu bagian urusan dalam penanganannya dipastikan akan lebih berdayaguna dan berhasilguna dilaksanakan oleh daerah Provinsi dan/atau Daerah Kabupaten/Kota dibandingkan apabila ditangani oleh Pemerintah maka bagian urusan tersebut diserahkan kepada Daerah Provinsi dan/atau Daerah Kabupaten/Kota.
Berdasarkan UU Nomor 32 tahun 2004 pasal 11 ayat 3 Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, yang diselenggarakan berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Dalam pasal 11 ayat 4 Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib yang berpedoman pada standar pelayanan minimal dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh Pemerintah.
Urusan wajib adalah adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota, berkaitan dengan pelayanan dasar (Pasal 7 Ayat (1) PP No. 38 Tahun 2007). Dalam UU N0 32 tahun 2004 Pasal 14 ayat 1 Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota, meliputi:
a.       perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b.      perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c.       penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d.      penyediaan sarana dan prasarana umum;
e.       penanganan bidang kesehatan;
f.       penyelenggaraan pendidikan;
g.      penanggulangan masalah sosial;
h.      pelayanan bidang ketenagakerjaan;
i.        fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
j.        pengendalian lingkungan hidup;
k.      pelayanan pertanahan;
l.        pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m.    pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n.      pelayanan administrasi penanaman modal;
o.      penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
p.      urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

Urusan pilihan adalah urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan (Pasal 7 ayat (3) PP No. 38 Tahun 2007). Dalam UU No 32 tahun 2004 pasal 14 ayat 2, Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.










DAFTAR PUSTAKA
1.      Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat Dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994.
2.      Prof. Dr. Juanda, S.H., M.H., Hukum Pemerintahan Daerah Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara DPRD dan Kepala Daerah, Penerbit Alumni, Bandung, 2008.
3.      Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta: PSH FH-UII. 2001
4.      Hanif Nurcholis, Teori Dan Praktik Pemerintahan Dan Otonomi Daerah, Jakarta: grasindo, 2007.
5.      Diana Halim Koentjoro, Hukum Adminstrasi Negara, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004.
6.      Dr. Agus Salim Gadjong, S.H., Pemerintah Daerah Kajian Politik dan Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2007
7.      Kansil, C.S.T., Prof., Drs., S.H., Pemerintah Daerah di Indonesia Hukum Administrasi Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2004.


PERATUAN PERUNDANG-UNDANGAN
1.      PP No. 38 Tahun 2007 Tantang Pembagian Urusan Pemerintahan Atara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
2.      UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

ARTIKEL INTERNET
1.      http://happytoyoukiky.blogspot.com/2010/11/penjabaran-materi-pokok.html







[1]Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat Dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994, Hal. 27
[2] SEJARAH TERHADAP SISTEM OTONOMI DAERAH DI INDONESIA « Orang Buton Punya.htm
[3] Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat Dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994, Hal. 28
[4] Bahan kuliah oleh Rahayu Prasetianingsih
[5] Penjelasan UU No. 32 Tahun 2004
[6]Prof. Dr. Juanda, S.H., M.H., Hukum Pemerintahan Daerah Pasaag Surut Hubungan Kewenangan antara DPRD dan Kepala Daerah, Penerbit Alumni, Bandung, 2008, Hal 39
[7]Ibid, Hal. 41
[8]Ibid, Hal. 41. 
[9] Agus Salim Andi Gadjong. Pemerintahan Daerah Kajian Politik Dan Hukum.Bogor : Ghalia Indonesia. 2007, Hal. 71-72
[10] http://helianakomalasari.wordpress.com/2010/05/29/susunan-pemerintahan-horizontal-dan-vertikal/
[11]http://hermawaneriadi.com/8/
[12]http://bintangcapella-ums.blogspot.com/2009/06/kekuasaan-pembagian-dan-alokasinya.html
[13] http://happytoyoukiky.blogspot.com/2010/11/penjabaran-materi-pokok.html
[14] Hanif Nurcholis, Teori Dan Praktik Pemerintahan Dan Otonomi Daerah, Jakarta: grasindo,
2007 , hal 79
[15] R.G Kartasapoetra, Sistematka Hukum Tata Negara, Jakarta: Bina Aksara, 1987 Hal. 87 & 98
[16] The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah Di Negara Republik Indaonesi,
Yogyakarta: Liberty, 1967, Hal. 109
[17] E. Koswara, Otonomi Daerah: untuk demokrasi dan kemandirian rakyat, Jakarta: yayasan
PARIBA, 2001, Hal. 17
[18]Hanif Nurcholis, Teori Dan Praktik Pemerintahan Dan Otonomi Daerah, Jakarta:: grasindo,
2007
[19] Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta: PSH FH-UII. 2001 Hal. 174

[20] Noer Fauzi dan R.Yando Zakaria, Mensiasati Otonomi Daerah, Yogyakarta : Konsorsium pembaruan Agraria bekerjasama dengan INSIST “Press”, 2000
[21] http://happytoyoukiky.blogspot.com/2010/11/penjabaran-materi-pokok.html
[22] Noer Fauzi dan R.Yando Zakaria, Mensiasati Otonomi Daerah, Yogyakarta : Konsorsium
pembaruan Agraria bekerjasama dengan INSIST “Press”, 2000, Hal 13
[23] Diana Halim Koentjoro, Hukum Adminstrasi Negara, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004, Hal. 29.
[24]Dr. Agus Salim Gadjong, S.H., Pemerintah Daerah Kajian Politik dan Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2007, Hal. 54.

No comments:

Post a Comment