Tuesday 12 April 2011

PAPER PENGADILAN HAM



“ Prinsip – Prinsip Hukum Umum Issue Complementary, Nebis In Idem, dan Penjatuhan Pidana”


Dosen :
Nella Sumika Putri, S.H., M.H.
Erika Magdalena C., S.H., M.H.

Disusun oleh :
Verawaty Marpaung          (110110080058)



Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran
2011

                     I.        Prinsip Complementary
            Hal yang membedakan ICC dengan Pengadilan Pidana Ad Hoc seperti di Yugoslavia (ICTY) dan Rwanda (ICTR) adalah bahwa ICC tidak mempunyai yurisdiksi primer yang mengatasi yurisdiksi pengadilan nasional, dan karenanya ICC hanya dapat melaksanakan yurisdiksinya jika suatu pengadilan nasional dinyatakan tidak mau (unwilling) atau tidak mampu (unable) untuk melakukan penyelidikan dan pengadilan secara fair dan kompeten sesuai dengan asas-asas yang berlaku secara internasional. Konsep ini dikenal dengan istilah prinsip komplementaritas (the principle of complementarity). Konsep ini dengan jelas disebutkan dalam Pasal 1 Statuta Roma (1998), yang menyatakan bahwa ICC shall be a permanent institution and shall have the power to exercise its jurisdiction over persons for the most serious crimes of international concern, as referred to in the Statute, and shall be complementary to national criminal jurisdictions. Pengertian “complementary” atau komplementaritas sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 1 Statuta Roma tersebut, adalah bahwa telah disepakati secara bulat oleh seluruh peserta, bahwa jurisdiksi (pengadilan) nasional memiliki tanggung jawab utama untuk melaksanakan penyidikan dan penuntutan setiap kejahatan internasional yang menjadi wewenang Mahkamah Pidana Internasional.[1] Lebih jauh lagi, pada bagian pembukaan dalam draft Statuta ICC dinyatakan bahwa pengadilan ini dimaksudkan sebagai pelengkap bagi sistem pidana nasional terutama jika prosedur pengadilan untuk mengadili kejahatan di bawah yurisdiksi ICC tidak tersedia atau tidak dapat diselenggarakan secara adil dan efektif.
            Menurut Statuta Roma, yurisdiksi ICC, berdasarkan prinsip komplementaritas, tidak dapat melakukan penyelidikan atas sebuah kasus jika kasus tersebut masih dalam proses penyelidikan oleh pihak kejaksaan suatu Negara , kecuali Negara yang bersangkutan tidak mau atau tidak mampu dalam arti yang sebenarnya untuk melakukan atau melanjutkan suatu penyelidikan atau pengadilan. Suatu kasus juga tidak bisa ditangani oleh ICC jika kasus tersebut telah selesai diselidiki oleh otoritas suatu Negara tertentu dan sistem yudisial Negara tersebut memutuskan untuk tidak meneruskannya ke tingkat pengadilan kecuali keputusan tersebut merupakan hasil dari ketiadaan kemauan atau kemauan dari Negara yang bersangkutan untuk menyelenggarakan pengadilan di tingkat nasional.
            Prinsip  complementary ini menunjukan bagaimana hubungan antara Mahkamah Pidana Internasional dengan Pengadilan Nasional. Berdasarkan prinsip tersebut, maka ada 2 (dua) hal yang esensial sebagai berikut:
1.     Bahwa sesungguhnya Mahkamah Pidana Internasional merupakan kepanjangan tangan/wewenang dari pengadilan nasional dari suatu negara;
2.     Bahwa sesungguhnya bekerjanya Mahkamah Pidana Internasional tidak serta merta mengganti kedudukan pengadilan nasional. Kedua hal yang bersifat esensial tersebut diatas, dapat diukur dari standar penerimaan atau standards of admissibility (Pasal 17 ayat (1) Statuta Roma-1998), yang mensyaratkan 4 (empat) keadaan sebagai berikut :
1.    Kasus kejahatan internasional sedang disidik atau dituntut oleh sejumlah negara yang memiliki jurisdiksi atas kejahatan internasional tersebut kecuali : negara yang berersangkutan tidak mau (unwilling) atau tidak mampu secara bersungguh-sungguh (unable genuinely) melaksanakan penyidikan atau penuntutan.
2.    Kasus kejahatan internasional tersebut telah disidik oleh negara yang bersangkutan, akan tetapi negara yang bersangkutan telah menetapkan untuk tidak menuntut tersangka/terdakwa, kecuali tindakan tersebut disebabkan oleh tidak adanya kehendak atau ketidakmampuan Negara yang bersangkutan untuk secara bersungguh-sunguh melakukan penuntutan.
3.    terdakwa sudah diadili dan peradilan Mahkamah Pidana Internasional tidak dapat dilaksanakan berdasarkan Pasal 20 ayat (3).
4.    Kasus tersebut tidak bersifat serius untuk diteruskan dan di adili oleh Mahkamah.

            Andaikan pemerintah sebuah negara berjanji untuk menyelidiki dan mengadili kejahatan perang yang dilakukan oleh tentaranya. ICC harus membiarkan penyelidik dari negara tersebut untuk melakukan penyelidikan kecuali kalau Penuntut Umum ICC dapat membuktikan bahwa apa yang dilakukan negara tersebut hanyalah pura-pura. Lalu, bagaimana sang Penuntut Umum ICC dapat menilai sebuah penyelidikan nasional jika tidak diselesaikan terlebih dahulu? Artinya Penuntut Umum ICC harus menunggu. Sementara itu, apa yang bisa tirjadi pada barang bukti dan para saksi? Jika memang demikian prakteknya, maka seluruh cita-cita luhur yang menjadi dasar dibentuknya ICC akan hancur, karena para pelaku kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan akan tetap dapat bebas dari hukuman.
            Sebaliknya, jika ICC dapat menginterupsi suatu pengadilan nasional dan memutuskan dengan sepihak apakah sebuah pengadilan nasional efektif atau tidak, itu berarti pengadilan internasional harus mempunyai semacam kewenangan judicial review atas sistem pidana tingkat nasional suatu negara, dan itu berarti bertentangan dengan prinsip komplementaritas yang disepakati bersama oleh para pencipta ICC.

                   II.        Prinsip Nebis in idem
            Asas ini menegaskan, bahwa orang yang sudah diadili dan atau dijatuhi hukuman yang sudah memiliki kekuatan yang pasti oleh badan peradilan yang berwenang atas suatu kejahatan atau tindak pidana yang dituduhkan terhadapnya, tidak boleh diadili dan atau dijatuhi putusan untuk kedua kalinya atau lebih atas kejahatan atau tindak pidana tersebut.[2]
            Menurut Statuta Roma, jika seseorang telah diadili untuk sebuah kejahatan yang juga menjadi yurisdiksi ICC, maka ICC tidak dapat mengadilinya untuk kejahatan yang sama (prinsip ne bis in idem), kecuali jalannya persidangan di tingkat nasional tersebut adalah sebuah tameng untuk melindungi individu terkait dari tanggung jawab internasionalnya atas kejahatan di dalam yurisdiksi ICC atau jika pengadilan di tingkat nasional tidak diselenggarakan secara independen dan imparsial sesuai dengan norma-norma persidangan yang diakui oleh hukum internasional dan diselenggarakan tidak dengan tujuan murni untuk mengadili terdakwa. [3]
            Pasal 20 ayat (2) Statuta Roma (1998) yang berbunyi : “No person shall be tried before another court for a crime referred to in article 5 for which that person has already been convicted or acquitted by the Court”. Terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 angka 2 diatas, terdapat kekecualian dalam Pasal 20 ayat 3 bahwa terhadap kejahatan-kejahatan genocide, crime against humanity and war crimes sebagaimana tercantum dalam Pasal 6, 7, dan 8, prinsip ne bis in idem dapat dikesampingkan hanya dalam 2 (dua) keadaan yaitu :
a.    Pengadilan nasional dilaksanakan untuk melindungi seseorang/kelompok orang dari pertanggungjawaban pidana; dan
b.    Pengadilan nasional tidak dilaksanakan secara bebas dan mandiri sesuai dengam norma-norma “due process” yang diakui Hukum Internasional dan tidak sejalan dengan tujuan membawa keadilan bagi orang/kelompok orang yang bersangkutan.[4]
            Masalah utama yang mungkin muncul dari aturan tersebut diatas, lagi-lagi, adalah batasan pengertian yang sumir. Untuk menilai independensi dan imparsialitas sebuah pengadilan nasional memang tidak terlalu sulit, tapi untuk menilai sebuah pengadilan nasional diselenggarakan memang dengan tujuan untuk melindungi (shielding) seseorang agar ia tidak diadili oleh ICC bukanlah perkara yang mudah. Konsep ne bis in idem menurut Statuta Roma ICC juga ternyata berbeda dengan konsep ne bis in idem dalam Statuta ICTY yang memberikan kewenangan secara tegas bagi Pengadilan Ad Hoc Internasional tersebut untuk menginterupsi proses di di tingkat nasional. Dalam Statuta ICTY, ne bis in idem dilaksanakan dengan tanpa syarat hanya pada keputusan pengadilan tingkat internasional, tetapi tidak pada keputusan pengadilan nasional.
            Contoh paling konkrit kegagalan sistem hukum nasional untuk melaksanakan hukum pidana internasional dalam konteks prinsip komplementaritas dan konsep ne bis in idem adalah pengadilan Leipzig di Jerman pasca Perang Dunia I dimana sebagai hasil dari kompromi dengan negara-negara Sekutu, Jerman menawarkan untuk menyeret mereka yang dituduh melakukan kejahatan perang ke muka Supreme Court of the Empire di Leipzig. Sekutu menerima mekanisme pengadilan nasional dengan syarat “ jika keadilan tidak ditegakkan dengan itikad baik dan hukuman yang setimpal dan adil tidak dijatuhkan pada mereka yang terbukti bersalah, Sekutu akan mengambil alih sidang dan menyidangkan lagi para terdakwa pada pengadilan yang baru yang akan mereka bentuk sendiriâ€. Pengadilan di Leipzing ternyata kemudian mengalami banyak masalah karena sebagian besar terdakwa ternyata tidak terlacak lagi setelah mereka tinggal di luar negeri, pengumpulan barang bukti tidak lengkap, dan kebanyakan saksi tinggal di negara-negara Sekutu dan enggan untuk bersaksi di muka pengadilan nasional Jerman. Secara keseluruhan, pengadilan Leipzig berakhir dengan kegagalan.
            Dari sekitar 900 kasus yang didaftarkan hanya 13 yang sampai pada keputusan, itupun tidak ditindak lanjuti dengan pemenjaraan para terhukum. Sebagian terdakwa malah berhasil melarikan diri sebelum disidang, sementara itu permintaan sebagian negara Sekutu yang kecewa agar Jerman menyerahkan para terdakwa untuk pengadilan baru yang lebih layak ternyata menimbulkan kemarahan publik di Jerman. Di masa kini, Pengadilan HAM ad hoc untuk kasus kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Timur yang berlangsung di Jakarta juga agaknya mengalami kondisi yang kurang-lebih sama dengan Pengadilan Leipzig.

                  III.        Penjatuhan Pidana
            Pada prinsipnya sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku dalam statuta ICTY dan Statuta ICTR hanya pidana perampasan kemerdekaan atau penjara (shall be limited to imprisonment) yang berat ringannya mengacu pada praktek yang berlaku di kedua negara yang bersangkutan. Selain itu, dapat juga dijatuhkan pidana tambahan berupa “the return of any property and proceeds acquired by criminal conduct, including by means of duress, to their rightful owners”.[5]
            Selanjutnya sanksi pidana yang dapat dijatuhkan ICC terhadap pelaku kejahatan sebagaimana yang diatur dalam artikel 77 ICC adalah pidana penjara yang tidak melebihi 30 tahun atau pidana penjara seumur hidup apabila terdapat keadaan-keadaan yang khusus berkaitan dengan beratnya kejahatan maupun keadaan pelaku kejahatan. Selain itu dalam artikel 77 Statuta ICC ditentukan mengenai pidana tambahan yang dapat dikenakan kepada pelaku kejahatan yaitu “a fine” dan “ a forfeiture of proceeds, property and assets derived directly or in directly from that crime”.[6]
            Dalam pengadilan HAM Indonesia, ternyata sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku pelanggaran HAM yang berat jauh lebih tinggi, apabila dibandingkan dengan Statuta ICTY, Statuta ICTR maupun Statuta ICC. Hal tersebut sebagaimana tersurat dalam bab VII tentang ketentuan pidana pasal 36-42 Undang-undang tahun 26 tahun 2000. Berdasarkan ketentuan tersebut terlihat bahwa sanksi pidana yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku pelanggaran HAM yang berat adalah pidana mati atau pidana seumur hidup atau pidana penjara maksimum 25 tahun. Selain itu, dalam undang-undang no.26 tahun 2000 tersebut juga diatur ketentuan pidana minimum khusus 10 tahun penjara untuk kejahatan-kejahatan tertentu seperti genosida.[7]
A.   Hukuman
            Mengenai Hukuman/Pidana diatur pasal 76 – 78 Statuta Roma yaitu :
1.    Pasal 76 Statuta Roma tentang Pemberian Hukuman
1)    Dalam hal pemberian hukuman, Sidang Pengadilan harus mempertimbangkan hukuman yang sesuai untuk dijatuhkan dan harus memperhitungkan bukti yang diajukan dan pembelaan yang dibuat selama persidangan yang berkaitan dengan hukuman tersebut.
2)    Kecuali apabila pasal 65 berlaku dan sebelum selesainya persidangan, Sidang Pengadilan atas dasar mosinya sendiri dapat dan harus, atas permohonan Penuntut Umum atau tertuduh, menyelenggarakan suatu pemeriksaan lebih lanjut untuk memeriksa setiap bukti tambahan atau pembelaan yang berkaitan dengan hukuman tersebut, sesuai dengan Aturan Prosedur dan Pembuktian.
3)    Apabila ayat 2 berlaku, setiap representasi berdasarkan pasal 75 harus diperiksa selama pemeriksaan lanjutan tersebut yang disebutkan dalam ayat 2 dan, kalau perlu, selama pemeriksaan tambahan.
4)    Hukuman harus diumumkan di depan umum, dan apabila mungkin, dengan kehadiran tertuduh.

2.    Pasal 77 Statuta Roma tentang Hukuman yang Dapat Diterapkan
1)    Tunduk pada pasal 110, Mahkamah dapat mengenakan satu di antara hukuman. hukuman berikut ini kepada seseorang yang dihukum atas suatu kejahatan berdasarkan pasal 5 Statuta ini
a)    Hukuman penjara selama tahun-tahun tertentu, yang tidak melebihi batas tertinggi 30 tahun; atau
b)    Hukuman penjara seumur hidup apabila dibenarkan oleh gawatnya kejahatan dan keadaan-keadaan pribadi dari orang yang dihukum.
2)    Di samping hukuman penjara, Mahkamah dapat memutuskan:
a)    Denda berdasarkan kriteria yang ditetapkan dalam Hukum Acara dan Pembuktian;
b)    Penebusan hasil, kekayaan dan aset yang berasal langsung atau tidak langsung dari kejahatan itu, tanpa merugikan hak-hak pihak ketiga yang bona fide.

3.    Pasal 78 Statuta Roma Tentang Penetapan Hukuman
1)    Dalam menentukan hukuman, Mahkamah, sesuai dengan Aturan Prosedur dan Pembuktian, harus memperhitungkan faktor-faktor seperti misalnya beratnya kejahatan dan keadaan-keadaan pribadi dari orang yang dihukum.
2)    Dalam menjatuhkan hukuman penjara, Mahkamah harus menguranginya dengan waktu, kalau ada, yang dilewatkan sebelumnya dalam penahanan sesuai dengan suatu perintah dari Mahkamah. Mahkamah dapat mengurangi waktu yang sebaliknya dilewatkan dalam penahanan dalam hubungannya dengan perbuatan yang mendasari kejahatan itu.
3)    Apabila seseorang telah dihukum karena lebih dari satu kejahatan, maka Mahkamah harus mengumumkan setiap hukum bagi setiap kejahatan dan hukuman bersama yang menyebutkan jumlah keseluruhan jangka waktu lamanya dipenjara. Jangka waktu ini harus tidak kurang dari angka tertinggi masing-masing hukuman yang diumumkan dan tidak melebihi 30 tahun penjara atau hukuman penjara seumur hidup sesuai dengan pasal 77, ayat 1(b).

B.   Penjatuhan Hukuman
            Mengenai Proses Pejatuhan Hukuman/Pidana diatur dalam Pasal 145 -  146 Statuta Roma yaitu :
1.    Pasal 145 Statuta Roma tentang Petepan Hukuman
1)    Dalam menetapkan hukuman dengan mengikuti ketentuan pasal 78, ayat 1, Mahkamah harus:
(a)  Benar-benar menyadari bahwa totalitas hukuman berupa pemenjaraan dan denda berupa uang, sebagai hasil dari proses persidangan terhadap kasus yang ditanganinya itu, yang dijatuhkan berdasarkan ketentuan pasal 77 harus mencerminkan kualitas kesalahan dari orang yang dinyatakan bersalah itu;
(b)  Menyeimbangkan semua faktor yang relevan, termasuk faktor-faktor yang meringankan dan memberatkan dan mempertimbangkan fakta atau keadaan dari terdakwa sekaligus jenis dan kualitas kejahatannya;
(c)  Sebagai tambahan terhadap faktor-faktor yang disebutkan dalam pasal 78, ayat 1, memberikan pertimbangan, antara lain, terhadap cakupan kerusakan yang timbul, khususnya derita yang ditimbulkan terhadap korban dan keluarganya, hakikat dari perilaku yang bertentangan dengan hukum yang berlaku dan alat atau saranasarana yang digunakan untuk menjalankan kejahatan tersebut; kadar keterlibatan orang yang dijatuhi hukuman itu; kadar niatnya; hal-hal yang menentukan cara, waktu dan lokasi; dan usia, pendidikan, keadaan sosial dan ekonomi orang yang dijatuhi hukuman itu.
2)    Sebagai tambahan terhadap faktor-faktor yang disebutkan di atas, Mahkamah harus menjadikan sebagai bahan pertimbangan, sejauh dianggap tepat dan sesuai, hal-hal berikut:
(a)  Hal-hal yang meringankan hukuman seperti:
                                                      i.        Situasi-situasi yang menyebabkan munculnya dasar-dasar pertimbangan bagi dihilangkannya tanggung jawab pidana, semisal cacat mental yang diderita pelaku atau ia melakukan hal yang didakwakan itu karena ada paksaan;
                                                    ii.        Tindakan orang yang dijatuhi hukuman itu setelah dikeluarkannya putusan, termasuk berbagai upaya oleh orang tersebut untuk memberikan kompensasi kepada korban dan kerja sama yang ditunjukkannya di hadapan dan bagi Mahkamah;
(b)  Hal-hal yang memberatkan, seperti:
                                                      i.        Orang yang dijatuhi hukuman tersebut ternyata sebelumnya pernah melakukan kejahatan yang juga termasuk dalam jurisdiksi Mahkamah atau kejahatan serupa yang pada hakikatnya sama dengan yang termasuk dalam jurisdiksi Mahkamah;
                                                    ii.        Penyalahgunaan kekuasaan atau penyelewengan terhadap kapasitasnya sebagai pejabat;
                                                   iii.        Kejahatan tersebut dilakukan ketika korban sama sekali tak berdaya; Kejahatan tersebut dilakukan dengan begitu kejamnya atau dengan akibat jatuhnya korban berlipat ganda (bukan sekadar banyak)
                                                   iv.        Kejahatan tersebut dilakukan dilakukan dengan motif yang melibatkan diskriminasi atas berbagai sebab sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 21, ayat 3;
                                                    v.         Hal-hal lain yang, kendati belum dienumerasi atau dirincikan di atas, berdasarkan hakikatnya sama atau serupa dengan faktor-faktor yang disebutkan itu.
3)    Hukuman penjara bisa dijatuhkan ketika dijustifikasi oleh tingginya tingkat keseriusan dari kejahatan tersebut dan situasi-situasi individual orang yang dijatuhi hukuman itu, sebagaimana dibuktikan dengan adanya satu atau lebih fakta yang memberatkan.

2.    Pasal 146 Statuta Roma tentang Pemberian Hukuman Denda Berdasarkan Ketentuan Pasal 77
1)    Dalam menentukan apakah akan memberikan hukuman denda berdasarkan ketentuan pasal 77, ayat 2 (a), dan dalam menentukan jumlah pasti denda tersebut, Mahkamah harus menentukan terlebih dahulu apakah hukuman penjara terhadap terdakwa merupakan hukuman yang memadai. Mahkamah harus memberikan dasar pertimbangan menyangkut kapasitas atau kemampuan finansial orang yang dijatuhi hukuman itu, termasuk perintah-perintah untuk memberikan tebusan dalam kaitan dengan ketentuan pasal 77, ayat 2 (b), dan, sejauh dipandang tepat, berbagai perintah menyangkut pemulihan terhadap korban sesuai dengan ketentuan pasal 75. Mahkamah harus menjadikan sebagai bahan pertimbangan, selain faktor-faktor yang dimaksudkan dalam aturan 145, apakah dan sampai pada taraf manakah sebuah kejahatan dimotivasi oleh dorongan finansial personal.
2)    Hukuman denda yang dijatuhkan berdasarkan ketentuan pasal 77, ayat 2 (a), harus ditentukan pada taraf yang tepat dan sesuai. Untuk mencapai maksud tersebut, Mahkamah harus, sebagai tambahan terhadap faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, secara khusus mempertimbangkan kerusakan dan derita yang disebabkan termasuk juga perolehan yang proporsional yang didapatkan pelaku dari kejahatan yang diperbuatnya itu. Tanpa dasar atau fakta-fakta lain yang meringankan, total jumlah denda bisa mencapai 75 persen dari keseluruhan nilai aset yang bisa diidentifikasi dari sang terpidana, cair atau teraba, dan properti (harta milik), setelah dikurangi dengan jumlah yang sesuai dengan yang diinginkan oleh terpidana dan tanggungannya.
3)    Dalam menjatuhkan hukuman denda, Mahkamah harus memberikan kepada terpidana suatu jangka waktu yang masuk akal untuk membayar hukuman dendanya itu. Mahkamah bisa menyediakan fasilitas pembayaran lump sum [pembayaran tunggal untuk beberapa item yang terpisah-pisah] atau dengan cara terpisah-pisah/berangsur selama jangka waktu yang telah ditentukan itu.
4)    Dalam menjatuhkan hukuman denda, Mahkamah bisa, sebagai sebuah pilihan, menghitung denda tersebut sesuai dengan sistem penghitungan denda harian. Dalam hal demikian, durasi minimum harus 30 hari dan durasi maksimumnya adalah lima tahun. Mahkamah harus memutuskan jumlah totalnya sesuai dengan ketentuan subaturan 1 dan 2 di atas. Mahkamah harus menentukan jumlah pembayaran harian 172 sesuai dengan keadaan individual orang yang dihukum tersebut, termasuk keperluan finansial dari tanggungannya.
5)    Jika si terpidana itu tidak membayar denda yang telah dijatuhkan sesuai dengan keadaan yang telah ditetapkan di atas, maka langkah atau tindakan yang tepat dan sesuai harus diambil oleh Mahkamah dengan mengikuti ketentuan aturan 217 hingga aturan 222 dan sesuai dengan ketentuan aturan 109. Jika, dalam hal berlanjutnya ketiadaan keinginan membayar, Dewan Ketua, atas mosinya sendiri atau atas permintaan Penuntut Umum, menuntut bahwa semua tindakan pemaksaan yang memungkinkan dan yang tersedia memang telah dilakukan, maka hal itu tidak boleh, sebagai sesuatu yang memperpanjang masa pemenjaraan untuk suatu jangka waktu tertentu, melampau seperempat dari masa hukuman tersebut atau lebih daripada lima tahun, yang biasanya selalu kurang dari itu. Dalam penentuan jangka waktu penambahan masa hukuman semacam itu, Dewan Ketua harus menjadikan sebagai bahan pertimbangan soal jumlah denda, yang ditetapkan dan yang dibayarkan. Penambahan hukuman semacam itu tidak berlaku bagi kasus yang telah dikenai hukuman penjara seumur hidup. Perluasan atau penambahan hukuman tidak boleh mencapai jangka waktu pemenjaraan lebih dari 30 tahun.
6)    Supaya menentukan apakah perlu memerintahkan penambahan masa hukuman dan jangka waktu yang telah dilalui, Dewan Ketua harus melakukannya secara rahasia untuk mendapatkan pandangan atau pendapat dari orang yang dihukum itu dan dari Penuntut Umum. Orang yang dihukum itu harus mendapatkan haknya untuk didampingi atau dibantu oleh penasihat hukumnya.
7)    Dalam menetapkan denda, Mahkamah harus mengingatkan orang yang dinyatakan bersalah itu bahwa kelalaian membayar denda sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan di atas bisa berakibat pada ditambahnya masa hukuman penjara terhadapnya sebagaimana digambarkan dalam aturan 146 ini

















DAFTAR PUSTAKA

1.    Statuta Roma tahun 1998
2.    Artikel Ratifikasi Statuta ICC : Problematika dan Prospeknya Oleh Prof.Dr.Romli Atmasasmita, S.H., LL.M.
3.    I.Wayan Parthiana, hukum pidana Internasional, CV Yrama Widya, 2006 Bandung.
4.    Artikel “Pelanggaran hak Asasi Manusia dalam Perpekstif Hukum Pidana Nasional dan Internasional” Oleh Supriyadi
5.    http://papers-agungyudha.blogspot.com/2003/03/mengenal-prinsip-komplementaritas.html, diakses pada tanggal 21 Maret 2011 Pukul 14.50




[1] Artikel Ratifikasi Statuta ICC : Problematika dan Prospeknya Oleh Prof.Dr.Romli Atmasasmita, S.H., LL.M., Hal 5
[2] I.Wayan Parthiana, hukum pidana Internasional, CV Yrama Widya, 2006 Bandung. Hal 65
[5] Artikel “Pelanggaran hak Asasi Manusia dalam Perpekstif Hukum Pidana Nasional dan Internasional” Oleh Supriyadi hal 28.
[6] Ibid, Hal 28
[7] Ibid, Hal 29

No comments:

Post a Comment